Kamis, 01 September 2011

Allah dan Gempa


Allah dan Gempa Haiti

Di manakah Allah? Pertanyaan ini menjadi sangat bermakna dan mendesak manakala manusia berhadapan dengan kejahatan, lebih lagi kalau kejahatan itu sangat keji. Beberapa hari yang lalu tepatnya pada Selasa (12/1) pukul 16.53 waktu setempat atau Rabu (13/1) 04.53 WIB, terjadi gempa bumi yang dasyat di dekat kota Port-au-Prince, Haiti dengan kekuatan 7,0 Skala Richter. Beberapa hari kemudian (Rabu, 20/1) terjadi gempa susulan dengan kekuatan 6,1 Skala Richter. Kedua gempa bumi ini mengakibatkan banyak bangunan, harta benda, dan  sarana transportasi dan komunikasi hancur berantakan. Ribuan manusia menjadi cacat, ada yang terperangkap di bawah reruntuhan bangunan, hilang dari sanak keluarga, dan meninggal dunia. Mayat bergelantungan di mana-mana. Haiti….menjadi kota mati. Peristiwa ini merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang menggemparkan di seantero jagat ini.
Berhadapan dengan gempa bumi yang mengguncang Haiti (dan juga bencana alam lainnya yang terjadi diberbagai tempat), manusia lantas bertanya, “Adakah Tuhan itu? Jika ada, di mana Dia berada dan mengapa Ia diam saja melihat penderitaan yang dialami oleh manusia? Atau sudah marahkah Tuhan itu sehingga Ia menurunkan gempa bumi yang dasyat di Haiti? Atau Tuhan itu sudah mati seperti yang dideklarasikan oleh Nietzcshe sehingga Ia tidak berkuasa lagi di atas muka bumi ini.”
Gempa bumi yang mengguncang Haiti membuat manusia menderita, marah, malas beraktivitas, putus harapan, hidup menjadi fana dan kabur maknanya. Selain itu, gempa yang terjadi bukan tidak mungkin membuat eksistensi Tuhan dipertanyakan dan dipersoalkan. Eksistensi Tuhan diragukan bahkan disangkal. Dengan kata lain, adanya gempa bumi membuat orang menjadi ateis. Betapa tidak! Allah yang dalam konsep universal dilihat sebagai yang Mahabaik dan Mahakuasa tidak menampakkan diri-Nya. Malahan Allah membiarkan gempa itu terjadi. Di manakah letak kemahabaikan dan kemahakuasaan Allah pada saat gempa itu?
Konsep Allah sebagai yang Mahabaik dan Mahakuasa, dengan demikian menjadi runtuh dan tak bermakna manakala berhadapan dengan realitas adanya gempa bumi yang menelan korban jiwa dan harta benda berlimpah. Jika Allah itu Mahabaik dan Mahakuasa, mengapa ada gempa bumi? Jika Allah itu Mahabaik dan Mahakuasa, maka Ia tidak membiarkan gempa bumi dan aneka cetusan kejahatan lainnya terjadi di atas bumi ini. Akan tetapi, semuanya itu ada dan sering menimpa manusia. Kenyataan ini tak jarang membuat  manusia menggugat eksistensi Allah. Allah yang Mahabaik dan Mahakuasa itu tidak ada gunanya. Dengan kata lain, tak ada gunanya manusia percaya kepada Tuhan. Karena kemahabaikkan dan kemahakuasaan-Nya tidak dapat dibuktikan.

Pencipta Gempa Bumi
            Dalam ranah filsafat kita mengenal dua jenis kejahatan yaitu kejahatan moral (malum morale) dan kejahatan fisik (malum physicum). Kejahatan moral adalah kejahatan yang disebabkan oleh perbuatan jahat manusia karena penyalahgunaan kebebasannya. Contohnya: pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, korupsi, dan sebagainya. Sementara kejahatan fisik adalah kejahatan yang disebabkan oleh peristiwa alam, yang mana alam itu sudah mempunyai hukum dan mekanismenya sendiri. Kejahatan fisik terjadi seturut hukum alam dan terjadi secara alami. Cetusan kejahatan fisik ada dalam gempa bumi, tsunami, cacat sakit, dan seterusnya.
            Lalu, siapa yang menciptakan gempa bumi? Dalam rumusan teologi kristiani diyakini bahwa segala apa yang ada di dunia ini diciptakan oleh Allah dari ketiadaan (creatio ex nihillo). Pernyataan ini mau menegaskan bahwa Allah-lah yang menciptakan semua yang ada termasuk gempa bumi. Jika gempa bumi diciptakan oleh Allah, maka Allah itu tidak baik. Karena di satu sisi Ia menciptakan manusia baik adanya, dan di sisi lain Ia menciptakan gempa bumi yang sering menimpa manusia.
Gempa bumi dan cetusan kejahatan fisik lainnya bukanlah ciptaan Allah. Allah menciptakan alam semesta beserta hukum-hukum yang mengaturnya. Dalam arti tertentu Allah memberikan kebebasan kepada alam untuk mengatur dirinya sendiri. Alam mempunyai hukum kebebasannya sendiri untuk mengatur dirinya. Kenyataan bahwa ada gempa bumi yang menelan banyak korban bukanlah berasal atau diciptakan oleh Allah, tetapi merupakan hasil dari hukum alam. Alamlah yang mengatur semuanya itu.

Allah dalam Gempa Haiti      
            Di atas telah dikemukakan bahwa gempa bumi yang mengguncang Haiti membuat banyak bangunan dan harta benda hancur lebur. Ribuan manusia menjadi cacat, hilang dari sanak keluarga, dan meninggal dunia. Dan bagi yang masih hidup pasti menderita, kekaburan makna hidupnya, stres, putus asa, marah, dan seterusnya. Pernyataan ini secara singkat mau mengatakan bahwa gempa bumi di Haiti (dan bencana alam lainnya) pada dasarnya buruk. Akan tetapi, kalau kita mengkaji lebih dalam tragedi kemanusiaan itu terpancar makna positif di baliknya. Adanya gempa bumi di Haiti (dan juga di tempat lain) tidak selalu dipahami sebagai absurditas dan negatifitas. Gempa bumi memberikan peranan antagonis yang diperlukan untuk tercapainya kebaikan yang lebih besar. Adanya gempa bumi memaksudkan untuk mendidik manusia untuk mencintai sesama. Melalui gempa bumi muncullah rasa cinta kasih, belas kasihan, dan solidaritas terhadap sesama manusia. Di sinilah etika kemanusiaan dapat ditumbuh-kembangkan. Tanpa ada gempa bumi dan aneka cetusan kejahatan lainnya, maka tak akan ada rasa cinta kasih, belas kasihan, dan solidaritas.
            Dalam gempa bumi, Allah bukan tidak hadir. Kehadiran-Nya terjelma dalam dan melalui orang-orang yang memberi perhatian dan kasih sayang bagi mereka yang menderita akibat gempa itu. Sumbangan finansial, obat-obatan, makanan, minuman, pakaian, doa, dan sebagainya yang selalu dan terus mengalir dari seantero jagat merupakan tanda kehadiran Allah bagi mereka yang menderita. Allah hadir dalam diri orang-orang yang punya rasa belas kasihan dan solidaritas. Manuel Deheusch, seorang warga Haiti berkeluh (Kompas: 15/1), “Oh Tuhanku, siapakah yang akan membantu negeriku sekarang?”


























































Perkawinan Homoseks


Pandangan Gereja Katolik Tentang Perkawinan Homoseks

1.  Pengantar        
            Beberapa tahun terakhir ini realitas perkawinan homoseks marak terjadi di hampir seantero jagat ini. Banyak negara di dunia ini menerima dan mensahkan perkawinan homoseks melalui undang-undang negara. Misalnya di Belanda, Portugal, Swedia, Kanada, Belgia, Spanyol, Norwegia, Islandia, Afrika Selatan, dan sebagainya. Untuk mempererat jalinan persaudaraan dan menunjukkan eksistensinya, mereka (kaum homoseks) membentuk perkumpulan homoseksual dan membentuk surat kabar  atau stasiun televisi khusus. Selain itu, isu perkawinan homoseks juga menjadi kendaraan berpolitik dan bahan kampanye bagi orang-orang tertentu yang ingin memenangkan suatu pemilihan dalam bidang pemerintahan.[1] Meskipun gaung perkawinan homoseks ini sudah berdengung ke seluruh dunia, itu tidak berarti bahwa perkawinan homoseks diterima oleh semua institusi dan lapisan masyarakat, misalnya Gereja katolik. Artinya bahwa Gereja katolik tidak serta merta menolak atau mensahkan perkawinan homoseks. Paper ini secara khusus membahas pandangan Gereja katolik tentang perkawinan homoseks. Pembahasannya terdiri dari pengantar, konsep dan hakikat homoseksualitas, latar belakang pandangan Gereja tentang perkawinan homoseks, pandangan Gereja Katolik tentang perkawinan homoseks, dan kesimpulan.

2.  Konsep dan Hakikat Perkawinan Homoseks
Secara etimologis, istilah homoseksualitas berasal dari kata bahasa Yunani homoios yang artinya sama, dan kata bahasa Latin sexus yang berarti jenis kelamin. Jadi, homoseksualitas berarti kecenderungan seksual terhadap orang yang berjenis kelamin sama. Dari definisi etimologis ini dapat disimpulkan bahwa homoseksualitas adalah rasa tertarik yang tetap, dominan dan erotis terhadap jenis kelamin sama, yang acap kali (meskipun tidak mesti mutlak) berkaitan dengan aktivitas seksual.[2] Tetap berati bahwa perasaan erotis terhadap pribadi dari jenis kelamin yang sama telah menetap. Dominan berarti bahwa mungkin ada kecenderungan ketertarikan erotis terhadap pribadi yang berjenis kelamin lain. Dan erotis berarti bahwa aktivitas seksual yang dilakukan semata-mata untuk memperoleh kenikmatan seksual kedua belah pihak. Aktivitas seksual yang dimaksudkan di sini seperti masturbasi, sodomi, fellatio, lesbian, pederasti, dan sebagainya.
Perkawinan homoseks adalah perkawinan antara dua orang yang berjenis kelamin sama (perempeuan dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki). Mayoritas perkawinan homoseks mendapat kepuasan seksual dengan cara saling bermasturbasi (khususnya pada perempuan), oral sex atau fellatio (memasukkan penis ke dalam mulut), dan anal sex atau sodomi (memasukkan penis ke dalam lobang anus).[3] Kecenderungan homoseksual pada wanita disebut lesbian atau cinta sapfis, dan pada laki-laki disebut gay. Dengan kata lain, “hubungan seks” yang terjadi pada pasangan homoseks tidak sungguh-sungguh terjadi karena yang terjadi hanyalah untuk memperoleh kenikmatan dari aktivitas seksual belaka. Artinya bahwa pasangan homoseks memperoleh kenikmatan hubungan seks tidak dengan memasukkan penis ke dalam vagina karena keduanya berjenis kelamin sama (baik sesama laki-laki maupun sesama perempuan).
Secara umum ada tiga jenis aktivitas atau orientasi homoseksualitas.[4] Pertama, transitory homosexuality yang sering disebut pseudo-homosexuality atau secondary homosexuality. Homoseksual jenis ini dialami oleh orang-orang yang melakukan aktivitas seksual bukan karena preferensi konstitusional dirinya terhadap sesama jenis, melainkan sebagian besar karena berbagai pengaruh atau keinginan tertentu, yang bisa berhenti atau lewat dengan berjalannya waktu, misalnya keinginan untuk mempunyai pengalaman seksual (umunya di kalangan remaja), konsekuensi dari penggunaan alkohol atau obat terlarang, atau akibat dari pergaulan atau hidup bersama dengan sesama jenis dalam tempo yang lama. Dewasa ini banyak remaja yang melakukan aktivitas homoseksual pada masa pubertas hingga awal masa pemuda sebagai perpanjangan dari masturbasi. Selain itu, tidak adanya peluang untuk melakukan hubungan heteroseksual (misalnya pada tentara dalam medan perang atau tawanan) dapat juga menjadi pemicu aktivitas homoseksual temporer di antara kaum dewasa. Aktivitas seksual semacam ini tidak bisa disimpulkan bahwa orang yang melakukannya pasti memiliki kelainan homoseks permanen (meskipun tidak tertutup untuk itu).[5] Di sini, tindakan homoseksual merupakan kejadian kasual (isolated event) yang tujuan pertamanya ialah sekedar memenuhi kebutuhan akan kenikmatan seksual, atau sekurang-kurangnya untuk mencari keuntungan (lewat pelacuran).  
            Kedua, laten homosexuality orientation (homoseksual sementara), yaitu ketertarikan terhadap orang-orang dari jenis kelamin yang sama, namun tidak diungkapkan dalam aktivitas genital atau manifestasi-manifestasi ekstern homoseksualistis. Biasanya orientasi homoseksual ini tetap berada pada level pertemuan atau persahabatan dengan sesama jenis. Karena itu, jenis ini juga disebut secondary homosexuality. Namun, keterarahan atau ketertarikan itu bisa begitu kuat sehingga yang bersangkutan, entah sengaja ataupun tidak, mengumpulkan di sekitarnya hanya orang-orang dari sesama jenis. Ketiga, radical homosexuality orientation (homoseksual permanen/tetap). Di sini, seseorang tidak hanya terlibat dalam aktivitas seksual dengan orang-orang dari jenis kelamin yang sama, melainkan aktivitas seksual itu bersumber atau mengalir dari konstitusi diri sebagai seorang homoseksual. Dengan kata lain, orientasi homoseksual berakar secara mendalam dalam pola psikis (phychic make-up) seseorang. Faktor-faktor eksternal tidak lagi memberikan pengaruh apapun terhadapnya. Daya dan kekuatan homoseksual mengalir dari dalam, dari inklinasi yang tidak bisa dikuasai atau habitus yang menetapkan cara berpikir dan bertindak seseorang. Orientasi homoseksual bersifat struktural dalam dirinya, barangkali sudah ada sejak ia masih kecil. Karena itu, orientasi ini sering juga disebut authentic same-sex orientation dan primary homosexuality. Bagi orang homoseksual permanen, rasa tertarik heteroseksual seringkali tidak ada atau hilang.[6]
Ada tiga faktor yang turut memengaruhi seseorang menjadi pribadi homoseks. Pertama, faktor genetika. Artinya bahwa seseorang menjadi homoseks karena bawaan dari orang tua. Orang tua yang homoseks kemungkinan besar akan diwariskan kepada anak-anaknya. Kedua, faktor psikologis. Menurut beberapa psikolog (seperti Freud, Jung, dan Adler) semua manusia dilahirkan sebagai manusia biseksual. Tetapi oleh karena pengaruh pengalaman masa kanak-kanak atau pendidikannya, orang bisa berubah menjadi homoseks.[7] Seorang laki-laki bisa menjadi gay karena selama masa pertumbuhan pengaruh ibu sangat dominan dibandingkan ayah. Demikian juga seorang perempuan menjadi lesbian karena pengaruh ibu lebih dominan dibandingkan ayah. Seseorang juga menjadi homoseks karena selama masa perkembangan mengalami penyiksaan seksual. Ada juga yang terjadi karena keluarga tidak menerima jenis kelamin si anak, akibatnya sejak masa kanak-kanak anak itu diperlakukan sesuai dengan jenis kelamin anak yang diharapkan oleh keluarga. Ketiga, faktor sosiologis. Seseorang menjadi pribadi homoseks karena faktor lingkungan pergaulan. Orang yang selalu bergaul dengan kaum homoseks bisa saja terjerumus menjadi pribadi yang homoseks. Orang-orang yang tinggal dalam lingkungan yang mana semua anggotanya berjenis kelamin sama tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya aktivitas homoseksual. Selain itu, tidak adanya peluang untuk melakukan hubungan heteroseksual (misalnya pada tentara dalam medan perang atau tawanan) dapat juga menjadi pemicu orang untuk melakukan aktivitas homoseksual temporer.    

3.   Latar Belakang Pandangan Gereja Tentang Perkawinan Homoseks
3.1. Argumentasi Berdasarkan Kitab Suci
Argumentasi Gereja Katolik tentang perkawinan homoseks berdasarkan Kitab Suci dipahami dalam kaitannya dengan teologi penciptaan (Kej 1:27-28; 2:18-24). Dari ayat-ayat di atas dengan jelas dikatakan bahwa Allah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan supaya keduanya bersatu dan saling melengkapi. Persatuan ini menjadi sangat bermakna melalui perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan merupakan momen yang tepat untuk mengekspresikan hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Sementara perkawinan homoseks merupakan sesuatu yang mendatangkan malapetakan dan dianggap sebagai sebuah dosa berat. Misalnya: peristiwa hancurnya kota Sodom dan Gomora dalam Kej 19:1-11. Menurut beberapa ahli tafsir Kitab Suci, hancurnya kedua kota ini dilihat sebagai hukuman yang diberikan Allah kepada manusia karena banyak orang yang mendiami kedua kota ini melakukan aktivitas/hubungan homoseksual. Selain itu, dalam Im 20:13 dikatakan, “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri. Ayat ini secara gamblang mengecam aktivitas/hubungan homoseksual, dan bahkan akan menghukum mati orang yang melakukan aktivitas tersebut.
Hal senada juga ditekankan oleh Santo Paulus dalam beberapa suratnya (Rm 1:26-32, I Kor 6:9-10, dan Tim 1:9-10). Dalam Rm 1:26-27 St. Paulus dengan tegas mengatakan, “Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka”. Pernyataan Paulus ini bertolak dari pengandaian bahwa sebab bagi hubungan homoseksual laki-laki dan perempuan adalah keinginan tak terbatas akan kenikmatan seksual, sedangkan bawaan mereka dari kodratnya heteroseksual dan karena itu seharusnya mereka mencapai kepenuhan seksual di dalam perkawinan.[8] Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan argumentasi Kitab Suci, Gereja Katolik tidak menerima perkawinan homoseks. Gereja menekankan dan menerima perkawinan heteroseksual, dan menurutnya hanya dalam perkawinan heteroseksual-lah yang memungkinkan terjadinya ekspresi hubungan seks dengan baik dan benar.  
3.2.   Argumentasi Berdasarkan Martabat Perkawinan
Berdasarkan martabatnya, perkawinan katolik terjadi antara seoarng laki-laki dan seoarng perempuan. Gereja melihat bahwa aktivitas/hubungan homoseksual merupakan sebuah fakta yang contra naturam (melawan kodrat) dan tidak bisa menghasilkan keturunan. Menurut kodratnya, seksualitas manusia normatif bersifat heteroseksual dan mengarah ke perkawinan serta memiliki hubungan instrinsik dengan pengadaan keturunan, cinta, dan kesetiaan. Dalam dokumen tentang Homoseksualitas nomor 7, Gereja dengan tegas mengatakan, “memilih orang dari jenis kelamin yang sama untuk kegiatan seksual berarti menggagalkan simbolisme dan makna, untuk tidak menyebut tujuan, rancangan seksual Sang Pencipta. Aktivitas homoseksual bukan persatuan komplementer, yang mampu meneruskan hidup; maka menghalangi kepada suatu panggilan kepada suatu hidup dalam bentuk pemberian diri yang menurut Injil adalah hakikat kehidupan kristiani.[9]
Hal senada juga ditekankan dalam Gaudium et Spes[10] dikatakan, “tujuan hakiki tindakan seksual adalah persatuan hidup dan cinta kasih suami istri, yang terarah kepada kehadiran keturunan (bdk. GS 48-50). Dalam hal ini Gereja hanya mengakui perkawinan heteroseksual. Lebih lanjut GS 50 mengatakan bahwa lahirnya anak merupakan bukti keikutsertaan manusia pada karya penciptaan. Dalam perkawinan homoseksual jelas tidak bisa menghasilkan keturunan karena kedua mempelai berjenis kelamin sama (walaupun dalam perkawinan heteroseksual juga bisa tidak menghasilkan keturunan). Anak yang merupakan buah cinta dari suami istri ternyata dalam perkawinan homoseksual tidak diperoleh. Selain itu, aktivitas homoseksual tidak memperlihatkan dimensi prokreasi hubungan seksual. Artinya kenikmatan hubungan seks antara seorang laki-laki dan seorang perempuan tidak terwujud.    

4.   Pandangan Gereja Katolik Tentang Perkawinan Homoseks
Setelah kita melihat beberapa argumentasi di atas, muncul pertanyaan: Bagaimana pandangan Gereja Katolik berkaitan dengan perkawinan homoseks? Apakah Gereja Katolik mensahkan atau menyetujui perkawinan homoseks? Tanpa mengabaikan kedua argumentasi di atas (argumentasi berdasarkan Kitab Suci dan martabat perkawinan) Gereja katolik berpandangan menerima atau mensyahkan (memberi sakramen pernikahan) di satu pihak dan menolak atau tidak mensyahkan di pihak lain (tidak memberi sakramen), bergantung besar kecilnya kecenderungan/orientasi homoseksual yang dialami oleh salah satu atau kedua mempelai. Jika deviasi seksual berada pada tingkat tertentu hingga mencegah yang bersangkutan untuk melakukan hubungan heteroseksual, maka di sini ada impotensi untuk melakukan hubungan seksual suami-istri (impotentia coeundi), asalkan deviasi itu bersifat tetap sesuai ketentuan kanon 1084, $1. Jika seorang homoseksual masih mampu melakukan hubungan heteroseksual, namun di lain pihak juga memiliki tendensi homoseksual, maka dalam hal ini yang bersangkutan dapat dikatakan tidak akan bisa mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai suami atau istri (kan. 1095, 3), khususnya dalam hal kesetiaan. Karena itu, jika intensitas deviasi itu tidak memengaruhi kemampuan untuk melakukan hubungan heteroseksual serta tidak melanggar kesatuan dan kesetiaan pernikahan, maka subyek yang memiliki tendensi homoseksual tersebut harus dianggap memiliki kemampuan untuk menikah.[11]
Selanjutnya, jika tendensi homoseksual baru disadari atau dirasakan setelah pernikahan, kiranya perlu dilihat apakah tendensi itu lemah atau kuat. Jika lemah, kiranya tidak perlu diberitahukan kepada pasangannya, jikalau perkawinan mereka berlangsung baik dan tidak ada kesulitan apapun untuk menghayati relasi suami istri yang normal dan setia. Jika kuat, kiranya sulit bagi pasangan untuk menghayati relasi suami istri yang normal dan setia. Kemudian perlu diselidiki dengan bantuan seorang ahli apakah tendensi itu, sekalipun disadari atau dirasakan setelah pernikahan, sebenarnya telah ada sebagai “benih” yang tersembunyi (laten) dalam diri yang bersangkutan sejak sebelum nikah.[12]
Persoalan lain adalah apakah tendensi atau aktivitas homoseksual seseorang perlu diberitahukan kepada calon pasangannya sebelum pernikahan? Jika tendensi homoseksual itu lemah, kiranya hal itu perlu disampaikan secara bijak dan hati-hati kepada calon pasangannya. Jika tendensi itu kuat, kiranya peneguh nikah atau siapapun yang mengetahui faktanya menegaskan kepada penyandang inklinasi homoseksual itu bahwa ia tidak layak menikah. Jika ia menyembunyikan fakta dirinya dan berhasil menikah, ia bisa dianggap melakukan penipuan (dolus), sehingga perkawinan menjadi tidak sah karena ia menjerumuskan pasangannya dalam kekeliruan mengenai sifat dirinya (error circa qualitatem personae), dalam arti membuat pasangannya mengira menikah dengan orang yang normal dan sehat, padahal kenyataannya tidak. Kekeliruan semacam ini dapat sangat mengacau persekutuan hidup perkawinan (kan. 1098).[13]

5.  Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Gereja katolik menerima sekaligus menolak perkawinan homoseks bergantung besar kecilnya deviasi atau kecenderungan seksual yang dimiliki oleh salah satu atau kedua mempelai. Bagi orang yang memiliki kecenderungan seksualnya tinggi, maka ssebaiknya tidak menerima sakramen pernikahan. Sementara orang yang mempunyai kecenderungan homoseksualnya lemah, bisa menerima sakreman pernikahan sejauh dia bisa mengendalikan kecederungan seksualnya dan mampu mengekspresikan kecenderungan seksualnya dengan baik serta mampu bertanggungjawab terhadap panggilannya sebagai istri atau suami.  (Richard Nsalu)




Daftar Pustaka

Maas, Kees, Teologi Moral Seksualitas, Ende: Nusa Indah, 1998.


Dokumen Konsili Vatikan II, terj, R.Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi Dan Penerangan KWI-Obor, 1993.


Homoseksualitas: Seri Dokumen Gereja No. terj. Ignatius Sumarya dan Piet Go, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2005.


Peschke, Karl-Heinz, Etika Kristiani Jilid III, Maumere: Penerbit Ledalero, 2003.


Raharso, Alfons Catur, Kesepakatan Nikah dalam Hukum Perkawinan Katolik, Malang: Dioma, 2008. 


TEMPO edisi 15-21 Nov 2004.






[1] Misalnya kemenagan G.W. Bush atas J.F. Kerry. Bush dengan tegas menolak perkawinan homoseks sedang Kerry mendukung. Bdk. Nasery Basral, “Ini Soal Moral Bung!”, dalam TEMPO edisi 15-21 Nov 2004, hlm. 48-50.
[2] Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid III, Maumere: Penerbit Ledalero, 2003, hlm. 307.
[3] Ibid., hlm. 307.
[4] Jenkins, “Judicial Foundations”, seperti yang dikutip oleh Romo Alfons Catur Raharso, Pr dalam Kesepakatan Nikah dalam Hukum Perkawinan Katolik, Malang: Dioma, 2008, hlm. 106-107. 
[5] Karl-Heinz Peschke, Op. Cit., hlm. 307.
[6] Karl-Heinz Peschke, Ibid., 307.
[7] Kees Maas, Teologi Moral Seksualitas, Ende: Nusa Indah, 1998, hlm. 141.
[8] Karl-Heinz Peschke, Op. Cit., hlm. 309.
[9] Homoseksualitas: Seri Dokumen Gereja No. terj. Ignatius Sumarya dan Piet Go, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2005, hlm. 15.
[10] Gaudium et Spes dalam Dokumen Konsili Vatikan II, terj, R.Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi Dan Penerangan KWI-Obor, 1993, hlm. 138-144.
[11] Alfons Catur Raharso, Pr., Kesepakatan Nikah dalam Hukum Perkawinan Katolik, Malang: Dioma, 2008, hlm. 109.
[12] Ibid., hlm. 109-110.
[13] Ibid., hlm. 110.